Oleh: Mujang
Kurnia, S.E
(Ketua Bidang
Kaderisasi dan Kepemudaan MES Wilayah Banten – Ketua Ikatan Alumni Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam UIN “SMH” Banten)
Keberadaan Ekonomi Syariah di Indonesia dikenal sudah
lebih dari dua dasawarsa, dengan ditandai beridirinya Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Namun
setelah diundangkannya UU No. 10/1998 tentang perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan,
secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari Sistem
Perbankan Nasional. Maka dengan demikian, bank-bank umum dan bank-bank
perkereditan rakyat konvensional dapat menjalankan transaksi perbankan syariah
melalui pembukaan kantor-kantor cabang syariah, atau mengkonversikan kantor
cabang konvensional menjadi kantor cabang syariah, terlebih ketika terjadi badai
krisis ekonomi sejak tahun 1998 dan krisis keuangan global tahun 2008 telah
membuktikan bahwa sistem ekonomi syariah yang diterapkan oleh perbankan Islam ini
adalah yang lebih baik untuk diterapkan. Sehingga sejak itu pula, dalam
beberapa tahun terakhir ini, perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik
Bank maupun non Bank mengalami perkembangan yang pesat, walaupun pada saat yang
bersamaan pangsa pasarnya (market share)
masih dikisaran 5% dan ini belum
signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim.
Kenapa hal ini bisa terjadi, barang kali karena sistem
kapitalis masih mengakar sangat kuat di negeri ini, dan masyarakat belum banyak
yang memiliki kesadaran untuk menggunakan sistem syariah ini, sehingga masih banyak
masyarakat yang belum menggunakannya dan banyak pula yang berkomentar dan
mengkritik terhadapa bank syariah dengan nada rethorik “katanya syariah, kok begini, kok begitu…” dan lain
sebagainya, ini bisa dimaklumi dan
diwajarkan karena ekonomi syariah yang dikenal oleh masyarakat kini adalah yang
terkait dengan bank, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya, masih sangat
mirip dengan versi konvensionalnya yang belum syariah, terlebih bank syariah yang
belum sepenuhnya menerapkan sistem syariah yang menyeluruh.
Dengan demikian, ketika ekonomi syariah dikembangkan
dari produk atau institusi yang semula tidak syariah, hasilnya sedikit banyak
membawa 'gen' dari asal produk atau institusinya yang semula memang tidak
syar'i. 'Gen-gen' bawaan itulah yang kemudian menimbulkan pernyataan-pernyataan
tersebut.
Jika diibaratkan, antara sistem kapitalis yang tengah
berjalan dengan ekonomi syariah yang tengah hadir saat ini adalah seperti
hubungan antara laki-laki dengan perempuan, kapitalisme itu adalah pasangan
kumpul kebo. Asal dua belah pihak sudah suka sama suka, maka tidak perlu nikah
resmi pun jadi. Riba pun dianggap halal karena terjadinya dari suka sama suka.
Demikian pula dengan sumber daya alam, sumber modal, dan pasar yang dieksploitasi
oleh segelintir orang pun dianggap sah karena pihak yang lain (masyarakat luas)
pasrah dan menerima kondisi ini.
Maka hadirlah ekonomi syariah saat ini untuk mencegah
terjadinya 'pasangan kumpul kebo' tersebut dengan menyerukan perlunya 'akad
nikah', sehingga yang sebelumnya haram menjadi halal. Sekalipun perilaku
pasangan yang dinikahkan tersebut masih mirip dengan perilaku kumpul kebo
sebelumnya, tetapi setidaknya secara
akad mereka sudah menikah secara sah, dan secara akad sudah halal. Maka sangat
wajar jika banyak masyarakat yang masih mengatakan, “Katanya Syariah, Kok…?” karena sekali lagi baru akadnya yang
didandani. Tetapi meskipun baru akadnya yang dihalalkan sedang perilakunya
belum, bukan berarti masyarakat terus memilih kumpul kebo, melainkan yang
menikah adalah lebih baik.
Jadi apapun yang sudah terjadi saat ini, terlepas dari
kekurangsempurnaanya, kita tetap harus mengapresiasi dan mendorong keberpihakan
kita pada yang sudah menuju syar'i meskipun baru akadnya ketimbang
melanggengkan yang sepenuhnya tidak syar'i. Kaidahnya adalah, kalau belum bisa
sepenuhnya syar'i, jangan terus memilih yang sepenuhnya tidak syar'i. Kondisi ini
digambarkan Ibarat pada suatu kondisi sedang lapar ditengah hutan, dihadapkan pada
pilihan untuk menentukan salah satu makanan yang bisa dikonsumsi yaitu daging
babi yang masih hidup dan bisa disembelih atau daging ayam yang sudah mati
tetapi tidak disembelih. Keduanya tentu tidak boleh, tetapi adalah lebih baik
mengkonsumsi daging ayam yang sudah menjadi bangkai ketimbang daging babi yang
sudah jelas-jelas diharamkan dalam kondisi apapun.
Kita harus terus berupaya menyempurnakannya dengan
ekonomi syariah yang menyeluruh, sehingga mereka yang sudah ber-'akad menikah'
secara sah dan halal tadi, mampu membina keluarga yang benar. Agar timbul
sakinah di hati, dan mawaddah warahmah diantara keduanya, agar dari mereka
kelak lahir generasi yang bertaqwa dan beriman sehinggan senantiasa berada
dalam keridhoan Allah.
Selain itu, sekalipun baru sampai akadnya yang
diterapkan dalam ekonomi syariah, tentu ini sangat penting dalam pelaksanaannya,
karena dalam bank syariah sendiri, akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam
yang memilki konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Sederhana dan terkesan sepele
tetapi mengandung makna yang luas, sehingga ketika dilupakan akan membatalkan
kenikmatan dan syariat Islam. Seperti contoh; Dihidangkan dua jenis masakan
daging ayam, yang satu berdaging montok dan dijelaskan bahwa ayam tersebut
merupakan ayam peliharaan yang dirawat. Sedangkan yang kedua merupakan ayam
liar dengan sedikit dagingnya dan tidak pernah diperhatikan. Keduanya adalah
sama-sama ayam, tetapi jenis ayam pertama dengan daging yang montok di sembelih
dengan tanpa menyebut nama Allah, dan ayam yang kedua disembelih dengan
menyebut nama Allah. Maka sekilas mungkin kebanyakan diantara kita akan memilih
hidangan jenis pertama, terlebih dalam kondisi lapar, karena dagingnya lebih
banyak dan akan cepat membuat kenyang, tetapi nilai keberkahannya ternyata
berada pada ayam yang kedua meskipun dagingnya sedikit.
Begitulah kondisi yang terjadi saat ini
dalam penerapan ekonomi syariah. Akan banyak yang mengatakan “sama saja…” dan lain sebagainya, karena
itu perlu kesadaran dan terus penyempurnaan dalam penerapan ekonomi syariah di
wilayah yang lebih mendasar bukan
sekedar pada akad-akadnya lagi, melainkan menyeluruh pada setiap aspek kegiatan
yang dilakukan. Tidak hanya itu, hal-hal sederhanapun jangan ditinggalkan
sebagai pembentukan citra baik yang membawa nama besar Islam. Seperti
lingkungan kerja yang terus bersyariah. Dalam hal etika, setiap karyawan
dilandasi sifat amanah dan shiddiq, sehingga tercermin integritas eksekutif
muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful (fathonah), dan mampu melakukan
tugas secara team-work dimana
informasinya akan merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam reward
dan punishment, diperlukan
prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Demikian pula dengan masyarakat, sebagai penduduk
dengan jumlah muslim terbesar yang berada dalam satu negeri adalah tanggung
jawab besar untuk menyempurnakan dan meneruskan penerapan ekonomi syariah
secara menyeluruh dengan terus mendukung dan terlibat secara penuh, karena
kalau bukan kita, siapa lagi?. Memang jalan yang syar’i itu tidak mudah dan
mungkin lebih sulit dari yang tidak syar’i. ini adalah wajar karena jalan
menuju syurga itu penuh rintangan, menanjak dan tidak disukai manusia,
sebaliknya jalan ke neraka itu mudah, landai dan dipenuhi hal-hal yang sangat
disukai manusia.
0 Komentar