Ekonomi Kerakyatan vs Ekonomi Kebaratan

Oleh : Boyke Pribadi 
(Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah Wilayah Banten)
Lagu Lama Aransemen Baru
Dalam lima tahun terakhir banyak bermunculan muka baru dalam blantika musik di Indonesia. Meskipun mereka adalah pendatang baru, namun namanya cepat melejit di telinga para penggemar musik, salah satunya dikarenakan pemilihan lagu lama yang sempat populer pada masanya, kemudian diaransemen kembali sehingga dapat akrab di telinga dan layak untuk dilempar kembali ke pasar hingga mendapat sambutan hangat dari para penikmat musik.
Demikian halnya istilah Ekonomi Kerakyatan yang dalam satu tahun ini kembali digaungkan oleh salah seorang capres melalui iklan yang menggambarkan betapa selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, negara yang pernah jaya ini ternyata tidak begitu peduli kepada nasib kehidupan dan penghidupan warga masyarakatnya, dan sistem ekonomi yang dijalankan justru lebih berpihak kepada kaum pemilik modal (kapital) ketimbang kepada pelaku usaha kecil. Dan bahkan semua calon mengklaim bahwa mereka mengusung sistem ekonomi kerakyatan bila terpilih kelak.
Istilah ekonomi rakyat, sebetulnya sudah di sebut-sebut oleh Bung Hatta pada tahun 1931, yang menurut pemahaman sebagian orang istilah itu dinamakan koperasi. Pada tulisan yang dimuat dalam Daulat Ra’jat, 10 November 1931, diceritakan bagaimana keprihatinan seorang Hatta melihat kedudukan pribumi yang menjadi petani sebagai produsen lemah tidak berdaya menghadapi para distributor orang asing yang telah membeli hak milik padi yang masih di batangnya dengan jalan ‘voorschoot’ (bayar di muka), untuk kemudian hasil panennya dijual kembali kepada kaum pribumi sebagai konsumen. Petani sebagai produsen tidak dapat bertemu langsung dengan pemakai barang hasil produksinya, melainkan harus melalui saudagar-saudagar asing yang mempunyai modal dan akal. Untuk mengimbangi kedudukan saudagar asing yang bermodal dan berakal itulah, Hatta menyarankan dibuatnya sebuah ‘perkumpulan’ produsen (petani).
Menurut Frida Rustiani, seorang peneliti pada yayasan AKATIGA, ekonomi rakyat adalah sebuah tatanan ekonomi yang terdiri dari sejumlah usaha-usaha kecil dengan orientasi usaha masih sekitar pemenuhan kebutuhan subsistensi, dikelola oleh rakyat, modal dan akumulasinya terbatas, teknologi dan manajemennya tradisional, padat karya, dan output produksi yang diperuntukkan bagi rakyat lagi. Ekonomi kerakyatan itu fokusnya pada kesejahteraan rakyat, berbeda dengan ekonomi kapitalis yang berfokus pada kesejahteraan pemilik modal.
Sistem Ekonomi Dalam UUD’45
Para founding father negara kita menyadari betul bahwa sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik, maka tujuan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara harus ditujukan pada kepentingan publiknya, sesuai dengan makna res-publica sebagai asal kata dari republik. Kemudian dipertegas lagi pada pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan dari pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, di samping mencerdaskan kehidupan bangsa dan lainnya.
Demikian halnya dengan pengaturan yang terkait dengan sistem ekonomi dalam UUD 1945, pada pasal 33 ayat 1 sangat jelas dirumuskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, dengan kata lain, kegiatan perekonomian harus dilaksanakan dalam rumusan kebersamaan yang tidak saling me-mati-kan pelaku usaha satu sama lain dengan prinsip win-win bukan win-loose. Hal ini tentu sangat berbeda dengan paham liberal atau kapitalis yang membebaskan persaingan sedemikian rupa sekalipun harus saling mematikan satu sama lain.
Memang dalam pemahaman masyarakat modern, tidak mungkin ada pelaku usaha yang dengan sukarela membiarkan potensi pendapatannya diambil oleh pelaku usaha lainnya. Namun kenyataan yang ada di Bumi Indonesia yang kaya dengan kearifan lokal ini sangatlah berbeda. Jika kita amati pola perdagangan angkringan, yaitu pedagang makanan dan jajanan kecil di Jogja, maka dapat dilihat bahwa untuk memenuhi kebutuhan ragam makanan yang dijual oleh angkringan tersebut, ternyata dipenuhi oleh beberapa usaha rumah tangga yang secara sadar membagi-bagi jenis makanannya berbeda antara satu usaha rumah tangga dengan usaha rumah tangga lainnya, meskipun sesungguhnya kebutuhan ragam makanan tersebut bisa saja dipenuhi oleh satu usaha rumah tangga secara keseluruhan.
Atau contoh lain adalah penggunaan ragam moda transportasi yang digunakan untuk menyusuri sungai di daerah kalimantan. Meskipun speed boat sebenarnya dapat menjangkau jarak hingga puluhan kilometer di sungai yang luas tersebut, namun ada satu titik pemberhentian dan membiarkan penumpangnya berganti moda angkutan darat untuk melanjutkan perjalanan yang sebenarnya masih dapat dijangkau dengan speedboat tersebut, dan sang pengemudi speedboat menyampaikan kepada sang penumpang bahwa perjalanan dapat dilanjutkan dengan melalui darat, karena ‘saudara’ mereka juga mencari nafkah dengan menarik angkutan darat.
Dari dua contoh tersebut, sebenarnya masih ada modal sosial gotong royong di tengah-tengah masyarakat kita, yang memberi kesempatan berusaha pada batas tertentu dengan tidak saling meniadakan satu sama lain. Hal ini dapat terjadi karena adanya rasa persaudaraan diantara sesama pelaku usaha, dengan kesadaran sepenuhnya bahwa rezeki/pendapatan yang diperoleh sesungguhnya telah ada yang mengaturnya yaitu Sang Maha Pencipta.
Ekonomi Kebaratan
Keadaan sangat kontras terjadi, mana kala berdirinya suatu rantai usaha waralaba yang bermuara hanya kepada kelompok usaha konglomerat, maka tidak lama setelah usaha waralaba itu berdiri, serta merta dapat mematikan pelaku usaha sejenis yang ada di sekitarnya. Kematian pelaku usaha kecil yang sejenis merupakan konsekuensi logis akibat pelaku usaha kecil tidak mampu memberikan harga yang murah dan fasilitas pelayanan memadai, karena pelaku usaha waralaba merupakan jaringan kokoh yang mampu memonopoli distribusi barang melalui pembelian secara langsung berkelompok kepada produsen dalam skala yang sangat besar, sehingga produsen barang akan memberikan harga yang jauh lebih murah ketimbang kepada pelaku usaha kecil yang harus tertatih-tatih melewati panjangnya rantai distribusi yang ada.
Kebijakan yang tidak memberikan perlindungan memadai kepada pelaku usaha kecil (proteksi, pen) merupakan salah satu ciri kebijakan ekonomi liberal/kapitalis yang membiarkan segala sesuatunya kepada hukum pasar, di mana pemilik modal yang besar akan mampu mendominasi pasar dengan berbagai strateginya, dengan tidak mempedulikan kebangkrutan pelaku usaha lainnya dan memaksa mereka menerima kebangkrutan sebagai suatu yang alamiah dalam persaingan pasar.
Memang dalam amandemen UUD’45 perubahan keempat disisipkan ayat tambahan pada pasal 33 yaitu ayat 4 yang memuat prinsip efisiensi berkeadilan. Ayat inilah yang digunakan oleh kelompok pro-pasar untuk memberikan pemahaman bahwa dengan membiarkan terjadinya persaingan antar-pelaku usaha akan menimbulkan efisiensi dalam ekonomi. Penafsiran ini dapat dibenarkan bila persaingan yang terjadi antara sesama pelaku usaha dengan level yang sama atau berbeda sedikit, dengan kata lain bandingkanlah apel dengan apel, jangan membandingkan apel dengan jeruk, karena sejak awal memang berbeda apel dengan jeruk sehingga tidak bisa kita memperlakukan sama antara apel dengan jeruk. Artinya, tidak bijak bila pemerintah membiarkan pelaku usaha kecil bersaing langsung dengan pelaku usaha bermodal besar. Karena sama saja dengan mengadu lomba kecepatan antara sepeda onthel melawan NSR-500-nya Valentino Rossi.
Visi Ekonomi Pancasila
Hanya saja permasalahannya saat ini adalah, apakah memang ada suatu sistem ekonomi yang unik dan khas menjadi ciri suatu negara? Ataukah memang para pemegang kebijakan harus meramu berbagai formulasi ekonomi yang ada dan mengadopsi bagian-bagian terbaik dari sistem ekonomi yang ada di dunia agar sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia?
Menurut penulis, amanah pasal 33 dan pembukaan UUD’45 dapat dijadikan awal pijakan untuk meramu sistem ekonomi yang sesuai dengan Indonesia. Almarhum Profesor Mubyarto sangat menaruh perhatian tentang gagasan sistem ekonomi Pancasila, yang menurut banyak pihak masih belum jelas teori dan implementasinya. Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis (Mubyarto, 1980). Menurut Mubyarto, Ekonomi pancasila didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. Memiliki lima ciri :(1)Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral., (2)Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan., (3)Prioritas kebijakan ekonomi adalahpenciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi, (4)Koperasi merupakan saka guru perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama., (5)Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan nasional.
Bila demikian keadaanya, maka sudah saatnya Kepemimpinan Nasional yang terpilih kelak, dapat mulai merintis kembali kebangkitan sistem ekonomi Pancasila yang memang lebih dekat dengan pengertian Ekonomi Kerakyatan sesuai dengan yang digembar-gembor-kan oleh para Capres/cawapres yang hendak berlaga pada pilpres 2014, bila tidak maka dikhawatirkan malah sistem ekonomi kerayatan (rayat dalam bahasa Jawa Banten artinya istri, kerabat, dan keluarga dekat) yang akan dibangun dengan tujuan hanya untuk kemakmuran/kesejahteraan sang keluarga dan kroni serta konstituen dari pihak yang berkuasa saja.

0 Komentar